Tahun 2011 hampir usai. Sejak awal tahun hingga penghujung tahun ini, publik disuguhi konflik sepak bola nasional yang terus bergulir tanpa henti.
Kurang lebih setahun sudah konflik di tubuh sepak bola nasional berlangsung. Bak cerita sinetron, ceritanya berputar-putar. Tokoh yang tadinya menjadi antagonis, berubah protagonis, begitu juga sebaliknya. Tergantung dari sudut mana mereka dipandang.
Pergantian ketua umum PSSI dari Nurdin Halid ke Djohar Arifin Husin, yang berlangsung cukup demokratis setelah sebelumnya membuat FIFA harus turun tangan karena dua agenda kongres yang gagal, ternyata tak serta merta membuat kondisi sepak bola nasional membaik dan sehat.
Akibatnya, baru empat bulan naik tahta, Djohar digoyang angin Kongres Luar Biasa (KLB) dengan agenda pergantian ketua umum. Bayangkan, baru empat bulan memimpin, sudah mau diganti lagi. Padahal sesuai peraturan, ‘jatah’-nya adalah empat tahun.
Pergantian ketua umum secepat ini bisa menimbulkan citra buruk terhadap cabang olah raga yang tetap nomor satu di Indonesia, walau belasan tahun gagal meraih gelar. Stakeholder sepak bola Indonesia bisa dicap tak menghargai proses demokrasi. Bayangkan juga, apa jadinya masa depan organisasi sepak bola nasional Indonesia jika setiap ketidakpuasan berujung pada pergantian ketua umum?
“Untuk apa KLB? Selain membuang-buang waktu, juga membuang-buang biaya,” ujar Komite Eksekutif PSSI, Sihar Sitorus.
Pendapat Sihar ada benarnya. Namun PSSI sebagai induk sepak bola nasional juga harus mendengarkan aspirasi anggota, terutama klub-klub yang menentangnya. Keinginan KLB ini dipicu kebijakan Djohar menghapus dan mengharamkan kompetisi lama, Indonesia Super League (ISL), dan menggantikannya dengan Indonesian Premier League (IPL), dengan jumlah anggota bertambah dari 18 menjadi 24 klub.
Selain keberatan karena jadwal yang semakin padat dan biaya yang membengkak akibat penambahan jumlah klub, klub-klub juga keberatan dengan proses penambahan klub yang tidak berdasarkan azas fair play. Tidak ada proses verifikasi di dalamnya.
“Persema Malang, Persibo Bojonegoro dan PSM Makassar dipilih karena kita menghargai jerih payah perjuangan mereka,” begitu alasan Sihar. Padahal ketiga klub tersebut jelas-jelas membelot dengan meninggalkan kompetisi PSSI di awal tahun 2011.
“PSMS Medan dan Persebaya Surabaya karena mereka punya basis suporter yang kuat. Ini permintaan sponsor,” lanjut Sihar. “Sedangkan Bontang FC karena mereka dulu didzolimi pengurus lama dan juga tim degradasi terbaik.”
Padahal lazimnya dalam setiap kompetisi berjenjang, klub-klub baru bisa naik ke kasta diatasnya berdasarkan pertandingan-pertandingan yang telah ia jalani, bukan karena alasan-alasan ‘humanis’ seperti disebutkan Sihar. Enak saja!
Kontan, keputusan ini membuat banyak klub menolak enam klub yang dianakemaskan itu, dan akhirnya memilih untuk menggulirkan sendiri ISL tanpa restu PSSI.
"Sejak awal kita sudah ungkapkan keberatan dengan 24 klub apalagi sekarang tanpa APBD. Kalau 18 klub kita hitung pas dari segi dana, apalagi enam klub tambahan ini semacam naik gratis. Sedangkan kita harus berjuang dari bawah. Alasan mereka naik tidak jelas."
"Kita minta aturan ditegakan. Soalnya jika aturan saja main ditabrak-tabrak bagaimana kita mau lakukan perubahan pada sepakbola kita," ujar Heru Subagio, Sekretaris Umum PSPS, yang berlaga di ISL.
Hal serupa juga dilontarkan Persipura. Klub ini bahkan sampai kehilangan haknya tampil di Liga Champions Asia karena konsisten mempertanyakan kebijakan PSSI.
"Kita tahu mereka adalah pengurus sah PSSI sekarang, dan Persipura tidak pernah menyatakan keluar dari anggota PSSI. Namun ini adalah organisasi, kalau mereka tidak mau mendengarkan suara klub-klub yang keberatan itu namanya terlalu memaksakan kehendak. Otoritas terbesar PSSI itu adalah ditangan anggota, yaitu klub-klub dan anggota pengprov," sahut Sekretaris Umum Persipura, Thamrin Sagala.
Bukannya mendengarkan aspirasi anggota, PSSI justru menutup pintu dan menjatuhkan hukuman. Jelas, ini bukan langkah yang tepat untuk mendinginkan konflik. Klub dijatuhi hukuman degradasi ke divisi bawah dan denda antara Rp 500 juta-Rp 1 Miliar.
Klub-klub yang membelot ke ISL mendapat simpati dari anggota PSSI lainnya, yakni para Pengurus PSSI tingkat Provinsi. Bola salju pun bergulir. Forum Pengurus Provinsi (FPP) mampu menggalang 452 anggota (meski belum ada verifikasi keabsahan), dari total 583 anggota PSSI, untuk menyuarakan mosi tidak percaya kepada ketua umum dan sejumlah anggota Komite Eksekutif PSSI lainnya serta menyuarakan KLB.
Sesuai peraturan, jika sedikitnya 2/3 total anggota meminta KLB digelar, maka PSSI wajib memenuhi permintaan tersebut. Mau tak mau, masalah ini kembali melibatkan FIFA. Karena tak ada yang mau mengalah, hanya organisasi tertinggi sepak bola dunia itulah yang bisa menengahi konflik ini. Namun benarkah KLB harga mati, seperti yang diungkapkan kubu dari FPP?
Sejatinya, rekonsiliasi masih pilihan terbaik. Anggota patuh terhadap PSSI, namun PSSI juga tak bisa semena-mena dan wajib menampung serta mencari jalan keluar terbaik untuk aspirasi para anggota. Tak sungkan mengoreksi kebijakan jika memang terbukti kurang tepat.
"Harus seperti itu ya (rekonsiliasi). PSSI mengajak duduk bersama dan membicarakan masalah yang sedang terjadi. Bagaimanapun, langkah seperti ini penting dilakukan karena akan tetap menjaga keberlangsungan sepak bola nasional," jelas Nil Maizar, pelatih Semen Padang, seperti dikutip dari Antara.
Rekonsiliasi bukan hanya menyelamatkan harga diri Djohar agar tidak lengser hanya dalam tempo kurang dari setahun, bukan hanya menyelamatkan hak klub-klub yang memang berhak tampil di kasta tertinggi PSSI, tetapi lebih dari itu, untuk menyelamatkan harga diri Indonesia yang diwakili PSSI di mata dunia.
Sekali lagi, bayangkan! Belasan tahun tanpa prestasi, peringkat pun terpuruk di posisi 140. Namun sudah berapa kali FIFA harus turun tangan untuk PSSI? Bahkan mantan presiden Konfederasi Sepak Bola Asia, Mohammed Bin Hammam, seperti dituturkan Dali Tahir, salah satu pejabat FIFA, pernah menyindir, “Kapan kami mendengar kabar baik dari Indonesia? Kok isinya berantem terus.”
sumber: inilah.com